MENJADI PEMBELAJAR YANG MENCERDASKAN - Aisjah Kepala SMAN 1 Parakan

Pembelajar mungkin menjadi kata yang tampak perfect, seolah kita tak mampu mencapainya di tengah banyak persoalan dalam belajar.  Muatan kurikulum yang  bertambah, jam sekolah yang semakin panjang, dan  tumpukan tugas merupakan rangkaian persoalan yang dihadapi dalam proses belajar. Alih-alih sebagian pelajar menganggap semua hal tersebut adalah beban, sehingga ketika hasil belajar belum sesuai dengan yang diharapkan lebih senang menyalahkan orang lain ketimbang koreksi diri. Ini merupakan salah satu potret  perspektif pelajar terhadap belajar, yakni  adanya guru, dosen, kelas, tumpukan buku, tugas, dan ujian yang dipandang hanya sebatas ritualitas  sehingga menjemukan. Sekolah atau kampus seolah sekedar ladang nilai, dan laporan penilaian menjadi atributnya, sedangkan sajian  pembelajaran cenderung diabaikan. Tujuan belajar menjadi terkikis karena perspektif yang salah arah. Tentu disorientasi belajar tersebut harus diperbaiki, dengan memaknai  kata belajar itu sendiri, sehingga mampu mendorong kita menjadi pembelajar.

A. Urgensi Menjadi Pembelajar

Belajar dan pembelajar adalah dua kata berekuivalensi, yang pemaknaannya dapat dikaji secara mendalam.  Belajar  bukan merupakan high level activity yang harus selalu terbingkai dalam  ruang, biaya, dan waktu. Belajar tak terbatas dalam dimensi  (dimana, kapan, dan siapa),  tetapi bagaimana mampu menunjukkan perubahan perilaku hasil belajar. Seperti yang diungkapkan Dzamarah dan Zain, bahwa belajar adalah proses perubahan perilaku berkat pengalaman dan latihan. Hal senada juga diuraikan Hilgard, learning is the process by which an activity originates or changed through training procedures (wether in the laboratory or in the natural environment) as distinguished from changes by factors not attributable to training (guru pendidikan.co.id, 29 April 2019). Berdasarkan pandangan tersebut, maka ada dua urgensi menjadi  pembelajar , yaitu  :


1. Belajar untuk menghasilkan perubahan perilaku (behavior improvement), yaitu proses belajar yang dimaknai, diintegrasikan, dan diimplementasikan dalam kehidupan. Hasil belajar dimanifestasikan dalam perilaku,  bukan sekedar memastikan perubahan dari tidak tahu menjadi tahu.  Perubahan yang melahirkan insan yang bertanggung jawab, memiliki integritas, mandiri, dan sifat mulia lainnya. Inilah ”nilai” hasil belajar yang sesungguhnya, yang tertanamkan dan akan terus digunakan dalam setiap langkah hidupnya. Pemaknaan yang mendalam terhadap belajar mereduksi kejenuhan belajar menjadi spirit dan motivasi, serta mampu  membingkai pembelajar dalam perilaku yang lebih baik  ( behavior improvement ). 
Perilaku mulia  para pembelajar  akan terefleksikan tidak hanya di lingkungan lembaga formal sekolah atau kampus, tapi juga di rumah, di jalan raya, di lingkungan kerja, di tempat umum, dimanapun berada.  Komunikasi yang santun dan produktif terus dikembangkan terhadap orang tua dan saudaranya, terhadap guru atau dosennya,  terhadap orang lain, terhadap masyarakat, mengembangkan sikap peduli, toleran, dan empati serta ketrampilan sosial yang terus terasahkan dan tertingkatkan, sehingga mencapai human being exellent.

2. Membangun keselarasan kecerdasan ( Harmony in intelegence ), yakni keselarasan kecerdasan dalam aspek spiritual, emosional, dan pengetahuan. Keselarasan yang dapat terwujudkan dalam proses belajar yang melibatkan indera, otak, dan juga hati.  Menjadi pembelajar akan melibatkan ketiga komponen tersebut dalam setiap proses belajarnya. Karena yang akan dikembangkan bukan hanya aspek known semata, tetapi juga aspek religius, moral,  kemampuan menyelesaikan masalah, mengendalikan emosi, menggali ide, dan potensi diri.

Insan yang belajar  hanya dengan menggunakan otaknya saja, maka biasanya yang akan diutamakan adalah apa, bukan mengapa, bagaimana, dan untuk apa ? hanya menjadi penghafal materi, intelektual semu, dan belum mampu memahami serta mengimplementasi  pengetahuan dan ilmu  yang di perolehnya sebagai hardskill dan softskill. Karenanya menjadi pembelajar tidak hanya untuk mencapai learning to know, tetapi juga mampu menegakkan learning to do, learning to live together, serta mampu mencapai learning to be

Menjadi pembelajar akan mengupayakan keselarasan kecerdasannya ( harmony in intelegence) yang mencakup kecerdasan spiritual, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional. Seperti yang diungkapkan Suyono (2014:33), manusia yang utuh adalah manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, emosi, sosial, fisik, maupun moral.

Keselarasan kecerdasan ( harmony in intelegence) merupakan kecerdasan yang berimbang antara kecerdasan spiritual, kecerdasan intelektual, dan kecerdasan emosional. Ketiganya digali, dilatihkan, dikembangkan , dan ditanamkan oleh pembelajar dalam proses belajarnya. Urgensi pengembangan kecerdasan spiritual akan menjadikan pembelajar semakin dekat  dan yakin akan keberadaan Tuhannya sehingga membentuk insan yang berprinsip dan memiliki tekad yang kuat dalam mencapai tujuan hidupnya. Pengembangan kecerdasan intelektual memperkuat pembelajar dalam membangun pola pikir  yang kritis, kreatif,  dan  memiliki potensi analisis yang tajam. Pengembangan pola pikir yang tidak hanya rasionalis tetapi juga menggunakan pemikiran empiris. Sedangkan kecerdasan emosional akan menjadikan pembelajar mampu mengelola kecakapan pribadi dan kecakapan sosial.  Sesuai dengan konsep kecerdasan emosional yang diungkapkan Goleman (dalam Uno, 2006 : 87), kecerdasan emosi yang berkaitan dengan kecakapan pribadi meliputi kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi. Sementara kecerdasan emosi yang berkaitan dengan kecakapan sosial meliputi empati dan ketrampilan sosial.

Menjadi pembelajar akan menyeleraskan ketiga kecerdasan tersebut ( harmony in intelegence ), melatih secara kontinyu olah pikir, olah hati, dan olah rasa. Inilah kecerdasan yang sesungguhnya, yang tidak hanya cerdas pikir, tetapi  juga cerdas hati.

 

B.     Karakteristik Pembelajar

Karakteristik pembelajar akan mudah dilihat dari pengertian pembelajar,  cara-cara belajar, dan perilaku dari hasil belajarnya. Bila memperhatikan pengertian pembelajar dalam kamus besar bahasa indonesia, pembelajar dimaknai sebagai orang yang belajar.  Berbeda dengan yang diuraikan  Danim (2010:145), manusia pembelajar diartikan sebagai orang-orang yang menjadikan kegiatan belajar sebagai bagian dari kehidupan dan kebutuhan hidupnya. Dalam konteks tersebut maka pembelajar adalah mereka yang terus belajar, meski pendidikan formal telah terlampaui,  life long education. Tak terbatas usia, situasi, dan kondisi. Para pembelajar akan menjadikan setiap moment adalah pengetahuan dan ilmu.  Karenanya karakteristik pembelajar dapat diidentifikasi dari 3 aspek penting berikut ini :  

1.      Memanfaatkan Lingkungan dan Pengalaman Sebagai Sumber Belajar

Pembelajar akan mampu menangkap setiap makna yang tampak dalam lingkungan  baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial sebagai sumber belajar. Menjadikan lingkungan sebagai sumber belajar akan meningkatkan kecintaan pembelajar terhadap sang Pencipta, menghayati, dan menjadikan proses belajar lebih bermakna. Melalui lingkungan sosial pembelajar mengambil makna dari interaksi yang dilakukannya, dalam komunikasi  personal ( orang tua, guru, dosen, atau teman ), atau komunikasi dengan keluarga, atau masyarakat. Adanya norma, etika, dan budaya yang terdispersi dalam masyarakat menjadikan  pembelajar meningkatkan kualitas dirinya untuk menempatkan diri menjadi insan yang beradab.  

Kata-kata bijak pengalaman adalah guru yang terbaik, merupakan asumsi yang dapat dikembangkan.  Melalui pengalaman, pembelajar dapat berintropeksi diri, mampu melihat dan menerima keunggulan orang lain, dan mengevaluasi kegagalan diri untuk memperbaiki perilaku, dan mencapai penyempurnaan kepribadian yang lebih baik.

Bagi pembelajar,  lingkungan dan pengalaman  merupakan ladang  untuk pengembangan intelektual, emosional, dan spiritual. Pembelajar akan berupaya menguatkan potensi melalui pemanfaatan waktu, lingkungan, dan pengalaman sebagai sumber belajar, dan akan memanifestasikan hasil belajar ke dalam kehidupannya.

2.      Menjadi Pengendali Teknologi, Informasi, dan Komunikasi ( TIK)

 Derasnya teknologi memberi dampak yang sangat luar biasa terhadap perkembangan kehidupan. Terlebih saat ini telah memasuki revolusi industri 4.0, era digitallisasi ini telah menawarkan aktivitas yang serba cepat,  murah, dan mudah. Fenomena yang tampak justru  mereka yang sangat dekat dengan kata belajar ( khususnya pelajar dan mahasiswa) terbius dengan style digitally,  lebih menyukai  gadget ketimbang buku. Pemanfaatan gadget lebih dominan pada media sosial dan game on line. Urgensi belajar menjadi bias, capaian pembelajarpun menjadi tak jelas. Hal inilah yang membangkitkan stereotype seolah teknologi hanya memberi dampak negatif .

Perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi merupakan karya penting yang sangat mendukung untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia, bahwa ada dampak itu adalah hal yang biasa. Tetapi seharusnya para pembelajar mampu mengupayakan menjadi pengendali  dampak tersebut.  Justru pengembangan teknologi, informasi , komunikasi melalui pemanfaatan gadget,  smartphone, atau jenis lainnya dijadikan sebagai  sarana sekaligus media  untuk meningkatkan kualitas belajar dan pembelajaran, mengembangkan pengetahuan dan potensi diri, menjadi stimulus untuk mengembangkan ide dan kreativitas pembelajar, sehingga mencapai peningkatan kualitas diri dan kehidupan masyarakat.

C.     Pembelajar Yang Mencerdaskan

Menjadi pembelajar merupakan amanat yang diberikan Allah swt kepada hambanya. Adanya akal mendorong lahirnya rasa ingin tahu manusia, yang kemudian diolah dengan hati dan qolbu, inilah kesempurnaan manusia dibanding makhluk lainnya. Untuk mencapai hal ini maka mestinya belajar merupakan kebutuhan manusia. Karena pada hakekatnya setiap manusia adalah pembelajar, pembelajar yang mencerdaskan. Pembelajar yang mencerdaskan merupakan pembelajar  yang mampu memberi teladan, yang mendorong perubahan berkemajuan, menginspirasi, dan yang  memberi manfaat  tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga bagi orang lain, bagi masyarakat, bagi bangsa dan negara.  Sudahkah kita menjadi pembelajar yang mencerdaskan ?  Jawabnya ada pada diri kita sendiri. Teruslah berupaya, menjadikan setiap langkah, setiap situasi, setiap saat, setiap tempat, adalah ladang pengetahuan dan ilmu. Menjadikan setiap pengetahuan dan ilmu terdispersikan manfaatnya pada setiap insan dan lingkungan, sehingga membingkai kita menjadi pembelajar yang mencerdaskan !